Wednesday 24 November 2010

"Keadilan Lapangan Hijau"



“apa sih keadilan itu?”

well..sepertinya sulit mencari jawaban yang pasti untuk pertanyaan filosofis macam itu. Keadilan tentu berbeda definisinya untuk tiap orang, tapi saya percaya seperti yang di bilang Socrates, ada sebuah kesadaran universal yang dimiliki setiap manusia dimana mereka bakal sepakat, adil-tidakkah suatu keputusan.

bukan tanpa sebab saya bertanya begitu, keadilan seperti jadi barang langka di negeri ini.

teman semua tentu mafhun dengan maksud saya. Bagaiman rasa keperihatinan kita begitu terusik melihat seorang lanjut yang didakwa mencuri buah asam harus mendekam di dalam kurungan sementara Jayus NanTambun yang katanya merugikan Negara ratusan milyar rupiah dapat melenggang bebas jalan-jalan keluar rutan.

Sungguh sebuah ironi besar keadilan yang menohok hati kita semua.

melihat apa yang terjadi di Negara kita tercinta sekarang, saya jadi tertarik membandingkannya dengan kejadian dramatis pada laga perdelapan final world cup 2010 kemarin, Uruguay kontra Ghana.

Alkisah, tersebutlah sebuah laga penuh drama antara wakil benua hitam afrika, Ghana, menghadapai wakil dari amerika latin, Uruguay. Dengan, Soccer City Stadium, Johannesburg sebagai arena laga.

Dua kesebelasan saling serang, laga berjalan alot. Sampai klimaks tiba ketika sebuah tendangan ancaman dari Adiyiah (Ghana) ditepis tangan Suarez (Uruguay) tepat di depan mulut gawang Uruguay. Ini menjadi Tangan Tuhan Jilid II usai gol Diego Maradona di Piala Dunia Meksiko pada 1986 silam.

Wasit memberikan hadiah penalti kepada Ghana sekaligus mengusir Suarez dari lapangan. Namun Asamoah Gyan gagal menghindarkan The Black Stars dari drama adu penalti. Tendangannya yang melenceng disambuh sorak bahagia Suarez di bangku cadangan.



Kemenangan akhirnya diperoleh Uruguay lewat adu pinalti, sebuah kemenangan yang menyakiti jutaan penikmat bola, terutama dari afrika sebagai tuan rumah. Karena (menurut mereka), ini adalah kemenangan yang dibangun diatas ketidaksportifan.

Sesungguhnya jika mau merujuk ke peraturan internasional yang dikeluarkan FIFA, pertadingan tersebut sama sekali nggak bermasalah dan sah-sah saja

Memang benar suarez melakukan kesalahan, menepis bola dengan tangan,

namun dia telah menerima hukuman sesuai peraturan. Diusir keluar lapangan.

Yang dilakukan suarez, mungkin serupa (secara konteks) dengan yang dilakukan zidane ketika menanduk materazzi 8 tahun silam, dan keduanya menerima perlakuan yang sama. Diusir keluar lapangan, sesuai dengan “peraturan resmi”.

Karena itu, bila mengacu pada hukum tertulis seharusnya tak ada masalah dalam pertandingan itu.

Suarez lakukan kesalahan, suarez dihukum sesuai aturan.

Jangan salahkan suarez atas kegagalan eksekusi Asamoah Gyan,

jangan salahkan suarez atas kegagalan Ghana dalam adu pinalti,

jangan salahkan suarez atas kekalahan (menyakitkan) yang dialami Ghana.

Tapi benarkah demikian??

Jikalau keadilan “hakiki” telah ditegakkan di Johannesburg, kenapa begitu banyak orang yang kecewa?,

mengapa banyak kritik tak sedap terhadap Uruguay??

mengapa banyak yg bertanya “lho..?? kok begini..??”



Disinilah menurut saya, terletak perbedaan yang mendasar antara keadilan formal dan keadilan substantif

Baik Nenek Minah yang diganjar 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan karena “mencuri” 3 buah kakao,

maupun Aulia Pohan pelaku kasus penyelewengan dana YPPI sebesar Rp 100 miliar yang bebas setelah diberi remisi.

Keduanya di ganjar sesuai dengan hukum dan undang-undang yang berlaku. Harusnya tidak ada masalah disini, karena karena keadilan sudah ditegakkan sesuai dengan “teks” (keadilan formal).



Namun kenapa nurani semua orang berontak, Semua itu terjadi karena keadilan formal yang dijalankan ternyata tidak mampu memenuhi rasa keadilan dimasyarakat. Padahal justru keadilan substantive ini yang seharusnya berada di hirarki tertinggi, karena bersumber dari suara publik dan memenuhi rasa keadilan di public itu.

Bukankah “suara rakyat adalah suara Tuhan” ( vox populi vox dei)??

maka selayaknya, suara rakyatlah yang mejadi “Juri” utama dalam setiap keputusan keadilan, bukan suara pembuat aturan (yang tertuang dalam aturan formal), apalagi suara penegak hukum yang sudah di beli oleh mafiso-mafiso pengadilan.

Kita semua harus mulai belajar menimbang dengan nurani, bukan cuma dengan bermodal aturan tertulis dan ketetapan baku. Karena subtansi nurani sendiri yang menempatkan manusia sebagai mahluk paling mulia.

Substansi nurani yang memungkinkan kita menimbang secara adil.

Tanpa itu kita tak lebih dari segerobolan hewan mamalia yang berjalan dengan dua kaki.

Setiap dari kita tentu mengharapkan tinggal di Negara utopis, yang menjunjung tinggi keadilan. Keadilan yang hakiki dan adil seadil-adilnya

namun selama penegak hukum masih menomor-satukan aturan dan pasal formal dibanding hati nurani, rasanya harapan kita menjadi “jauh panggang dari api”.


Share |

Post a Comment

0 Comments:

blogger templates | Make Money Online