Saturday 18 September 2010

Tanpa teori evolusi, biologi adalah ngawur.

Mengesankan sekali membaca essai tulisan Theodosius Dobzhansky (1900-1975) "Nothing in Biology Makes Sense Except in the Light of Evolution". “Tanpa teori evolusi, biologi adalah ngawur.“, benar-benar mencerahkan.
setidaknya memberikan alternatif berfikir baru buat kita semua dalam memandang teori yang penuh pro-kontra satu ini
berikut ini saya copas essai yang sudah diterjemahkan sama Kopral Geddoe yang di publish di blognya (Big Thanks buat akang Geddoe yang membuat essai ini lebih gampang dipahami..)

berikut :

.
.
.
.
.
.
.

Biologi Tidak Akan Masuk Akal Kecuali Berkiblat Pada Teori Evolusi"

Theodosius Dobzhansky

Pada tahun 1966, Syaikh Abul Aziz bin Baz menyarankan agar Raja Saudi Arabia menghentikan penyebaran sebuah gagasan menyesatkan yang menyebar di negerinya. Beliau menulis:

“Al-Qur’anul Kariim, ajaran Rasulullah yang mulia, suara para ilmuwan Muslim, dan fakta-fakta yang ada semuanya menyuarakan bahwa matahari berputar di sumbunya… dan bumi tidak bergerak dan tetap ada di posisinya. Inilah wahyu Allah pada makhluk-makhluk-Nya. Barangsiapa yang menyatakan sebaliknya ialah berbicara suatu dusta terhadap Tuhannya, kitabnya, dan nabinya.”

Syaikh Bin Baz lalu menyatakan bahwa teori Copernicus “hanyalah teori”, dan bukanlah “fakta”. Secara teknis, beliau benar. Sebuah teori bisa didukung oleh fakta-fakta yang tak terbantahkan, tapi setelah itu ia akan menjadi ‘teori yang terbukti’, tidak akan pernah menjadi ‘fakta’. Mungkin beliau lupa, bahwa era penjelajahan antariksa telah dimulai, sebelum ia mulai meminta pada Raja untuk menghentikan penyebaran ‘teori menyesatkan’ milik Copernicus. Bahwa bumi itu berbentuk bundar, sudah dilihat sendiri oleh para astronot, dan bahkan sudah disiarkan dan dapat dilihat oleh siapapun di televisi. Atau bisa saja sang Syaikh berdalih, bahwa para astronot hanya berhalusinasi saja, dan bumi memang datar adanya.

Model astronomi yang diajukan oleh Copernicus, seperti misalnya gagasan bahwa bumi mengelilingi matahari (dan bukan sebaliknya), belum pernah dipastikan melalui pengamatan langsung, seperti misalnya pada gagasan bahwa bumi itu bundar. Tapi, tetap saja komunitas ilmiah menerima model astronomi ini sebagai model yang akurat. Mengapa? Karena model ini memungkinkan banyak fakta-fakta sains untuk dijelaskan secara memuaskan— tanpa teori ini, fakta-fakta tersebut akan menjadi misterius, aneh, dan menjadi pertanyaan. Lalu mengapa kita semua menerima gagasan bahwa bumi itu bundar dan mengelilingi matahari? Bukankah gagasan ini “hanya teori”? Apa kita sedang menaklid buta pada otoritas sains? Tidak juga: kita mengikutinya karena apabila kita meluangkan waktu untuk mempelajarinya, teori ini ternyata sangat meyakinkan.

Sayangnya, Syaikh Bin Baz mungkin tidak meneliti bukti-bukti yang ada. Lebih disayangkan lagi, mungkin beliau begitu bias sehingga bukti macam apapun tidak akan meyakinkan beliau. Meyakinkan beliau untuk menerima teori ilmiah ini tampaknya hanya akan membuang-buang waktu. Baik Al-Qur’an, maupun Alkitab, tidak menolak teori Copernicus, dan Copernicus pun tidak menolak kitab-kitab ini. Kitab suci membahas sesuatu yang dianggap lebih penting: makna eksistensi manusia dan relasinya dengan Tuhan. Kitab suci ditulis dengan bahasa puitis yang indah, yang bisa diyakini oleh orang-orang yang hidup di mana kitab tersebut diturunkan (dan orang-orang sesudah mereka). Raja Saudi waktu itu tidak mengabulkan pintaan sang ulama. Sang Raja paham bahwa ada golongan yang tidak menyukai kemajuan pengetahuan, mungkin karena akan merugikan mereka. Pendidikan tidak semestinya dipakai untuk menyebarkan misinformasi.

Bumi bukanlah pusat semesta secara geometris, walau mungkin merupakan pusat spiritualnya. Ia hanyalah setitik debu di angkasa. Dan, bertentangan dengan perhitungan Uskup Ussher, alam semesta tidak diciptakan pada tahun 4004 SM. Perkiraan usia alam semesta menurut kosmologi modern memang hanya perkiraan kasar, namun terus bertambah akurat setiap penelitian, dengan metode-metode yang semakin canggih. Ada pendapat yang menyatakan bahwa alam semesta berusia sepuluh milyar tahun; beberapa berpendapat ia kekal dan abadi. Kehidupan di bumi lahir sekitar 3-5 milyar tahun silam; dan makhluk hidup yang menyerupai manusia muncul sekitar 2-4 juta tahun yang lalu. Usia bumi sendiri, berikut durasi era geologis dan paleontologis, serta umur nenek moyang manusia, sekarang diukur dengan bukti-bukti radiometris dari beberapa jenis elemen kimiawi di bebatuan.

Syaikh Bin Baz dan golongannya menolak bukti-bukti radiometris, karena itu “hanya teori”. Lalu apa alternatifnya? Beberapa menyatakan bahwa Tuhan menipu kita, dan menciptakan ilusi-ilusi yang akhirnya merusak teori para ahli geologi dan biologi. Tuhan membuat beberapa jenis batu dengan rasio isotop tertentu supaya sains salah memprediksi usia benda-benda di alam semesta. Bebatuan yang hanya berusia 6000 tahun, disulap oleh Tuhan supaya kelihatan berusia 2 milyar tahun atau 2 juta tahun. Salah seorang anti-evolusi pertama, P. H. Gosse, pernah menulis sebuah buku berjudul “Omphalos” (‘pusar’). Inti dari buku yang ‘luar biasa’ ini adalah Adam memiliki pusar, walaupun tidak punya ibu (fungsi pusar adalah untuk menyalurkan nutrisi ketika bayi berada dalam kandungan), dan fosil-fosil yang ditemukan dengan susah payah adalah benda palsu yang diletakkan oleh Tuhan di bebatuan— dalam arti Tuhan sengaja menipu ilmu pengetahuan. Rasanya mudah untuk menyimpulkan bahwa gagasan ini mengada-ada. Ini adalah penghinaan terhadap Tuhan, dengan menuduh-Nya menipu makhluk ciptaan-Nya.

Keragaman Makhluk Hidup

Keragaman yang ada pada makhluk hidup sangatlah menakjubkan dan sarat akan makna. Sekitar 1,500,000-2,000,000 spesies telah ditemukan dan dipelajari; yang belum ditemukan mungkin sama banyaknya. Keragaman ukuran, struktur, dan cara hidup masing-masing spesies, semuanya begitu agung. Begitu menggetarkan.

Beberapa contoh saja:

Virus yang menyebabkan penyakit mulut dan kuku berwujud bola dengan diameter yang hanya 8-12 mikrometer. Bandingkan dengan paus biru yang panjangnya mencapai 30 meter dengan bobot 135 ton. Virus-virus yang paling sederhana adalah berupa parasit yang terdapat di sel-sel organisme lain, mencuri DNA/RNA inangnya dalam jumlah yang amat sangat sedikit, dan menggunakannya untuk berkembang biak.

Apakah virus adalah makhluk hidup atau atau hanya zat kimia, sebenarnya adalah masalah opini dan definisi. Perbedaan opini dan definisi di sini sangat esensial. Ini bermakna bahwa batas antara ‘hidup’ dan ‘tidak hidup’ adalah sangat kabur. Lebih jauh lagi, apabila kita mengamati organisme-organisme yang lebih kompleks, kita akan menemui keluarga vertebrata, termasuk manusia. Otak manusia memiliki dua belas milyar neuron; sinapsis di antara neoron-neuron ini bisa mencapai jumlah yang ribuan kali lebih besar.

Beberapa organisme hidup di lingkungan yang sangat bervariasi. Contoh utamanya adalah manusia. Manusia tidak hanya merupakan satu-satunya spesies yang benar-benar kosmopolitan, tapi, dengan dibantu teknologi yang dibangunnya sendiri, mampu bertahan hidup di permukaan bulan dan hamparan antariksa. Sebaliknya, beberapa organisme sangatlah pemilih dan hanya bisa hidup di lingkungan tertentu. Contoh yang paling ekstrim adalah jamur Laboulbeniaceae, yang hanya bisa hidup apabila menumpang di atas sayap dari kumbang Aphenops cronei. Kumbang ini sendiri hanya ada di gua-gua batu kapur yang terletak di selatan Perancis. Lalu larva milik lalat Psilopa petrolei hanya berkembang di rongga-rongga penambangan minyak di California, tidak ada di manapun jua kecuali di sana. Spesies ini juga adalah satu-satunya yang mampu hidup dari mengkonsumsi minyak (dan mereka juga dapat berjalan di atasnya). Kemudian masih ada larva lalat jenis lain, Drosophila carciniphila, yang hanya berkembang di lorong-lorong syaraf yang ada di bawah tangan kecil urutan ketiga yang berada di sekitar mulut kepiting Geocarcinus ruricola. Kita tidak akan mendapatkan kepiting ini kecuali di beberapa pulau saja di Karibia.

Apa ada penjelasan yang memuaskan akan keragaman yang luar biasa ini? Dari mana pula datangnya makhluk-makhluk ajaib seperti jamur Laboulbenia, kumbang Aphenops cronei, lalat Psilopa petrolei dan Drosophila carciniphila, dan spesies-spesies lain yang tak terhitung jumlahnya? Satu-satunya jawaban yang memuaskan dunia sains adalah keragaman organis telah berevolusi, menyesuaikan diri dengan lingkungan-lingkungan yang beragam di atas planet bumi ini. Tidak ada satu spesies, sesempurna apapun, yang dapat memanfaatkan secara maksimal peluang yang ada untuk hidup— semuanya punya cara hidup sendiri-sendiri yang bergantung pada lingkungan. Ada banyak cara-cara hidup yang belum tersentuh oleh sains, tapi satu yang jelas: rendahnya keragaman, akan berakibat pada terbatasnya cara hidup dan berkembang. Proses evolusi berusaha mengisi kekosongan dengan terus mendorong spesies-spesies yang ada untuk memanfaatkan lebih banyak lagi elemen-elemen lingkungan. Mereka tidak melakukannya secara sadar. Lingkungan tidak memaksakan perubahan pada makhluk hidup, seperti yang dinyatakan oleh hipotesis Lamarck yang sudah tidak dipakai lagi itu. Intisari proses evolusi modern mungkin dapat dinyatakan sebagai berikut: Terdapat ‘tantangan’ pada lingkungan yang menyulitkan makhluk hidup. Makhluk hidup kemudian dapat meresponnya dengan beradaptasi secara genetis.

‘Tantangan’ tersebut berupa kekosongan ekologis; yaitu elemen lingkungan yang belum bisa dimanfaatkan oleh makhluk hidup, atau dapat pula berupa perubahan iklim. Seleksi alam bisa menyebabkan makhluk hidup beradaptasi dengan mengubah komposisi genetisnya. Dengan melakukan hal tersebut, makhluk hidup yang beradaptasi tadi dapat memanfaatkan ‘ruang kosong’ yang ada. Namun sebaliknya, makhluk hidup tersebut bisa saja ‘menolak’ untuk berubah! Setiap pilihan yang ‘dipilih’, bisa berhasil, dan bisa pula gagal. Apabila respon ini gagal, maka spesies tersebut akhirnya akan punah. Bukti-bukti yang ditemukan pada fosil-fosil menunjukkan bahwa kebanyakan proses evolusi berakhir pada poin ‘gagal’ tersebut, dan organisme-organisme yang ada saat ini adalah keturunan dari spesies-spesies minoritas. Anehnya ini tidak berarti keragaman berkurang, justru bertambah banyak. Mengapa? Hal ini berhasil dijelaskan oleh teori evolusi— yaitu minoritas yang ada berkembang menjadi semakin beragam. Sekarang bayangkan betapa anehnya apabila evolusi tidak terjadi. Tuhan membuat spesies-spesies secara berkala, dan membantai beberapa dari mereka secara berkala pula!

Perlu diingat bahwa seleksi alam bukanlah sesuatu yang dilaksanakan secara sadar oleh makhluk hidup. Suatu spesies bukannya berniat; “Ah, esok hari (atau sejuta tahun lagi) saya akan mencoba untuk tumbuh di tanah yang berbeda, atau mencoba hidup secara parasit di bagian tubuh yang lain dari jenis kepiting yang lain pula!” Tidak begitu. Hanya manusia yang dapat memilih secara sadar, ini sebabnya kita berada di puncak evolusi. Seleksi alam adalah proses yang buta namun kreatif— hanya itu caranya kenapa proses yang sama bisa menghasilkan spesies seperti manusia, namun bisa pula golongan terspesialisasi seperti jamur, kumbang, dan lalat yang disebutkan di atas.

Orang-orang yang anti-evolusi seringkali tidak memahami apa itu evolusi dan bagaimana ia bekerja. Golongan ini berpendapat bahwa semua spesies didesain secara langsung oleh Sang Pencipta, dan tidak berkembang hingga saat ini. Tapi, kalau benar demikian, mengapa sampai ada 2,000,000-3,000,000 spesies di muka bumi? Kalau evolusi benar terjadi, maka jumlah tersebut adalah normal. Sebaliknya, mengapa? Apa mungkin Tuhan sedang iseng ketika membuat Psilopa petrolei sebagai penghuni ladang minyak California, dan Drosophila sebagai makhluk yang hanya bisa hidup bila digendong para kepiting di beberapa pulau di Karibia? Semua ini bisa dipahami, bila Tuhan menciptakan dunia ini bukan secara seenaknya, melainkan dengan mekanisme dan algoritma indah yang dinamakan seleksi alam.

Adalah sangat keliru kalau evolusi dikatakan sebagai tandingan penciptaan. Saya adalah seorang yang mempercayai penciptaan. Saya juga mempercayai teori evolusi. Evolusi adalah cara Tuhan mencipta. “Penciptaan” bukanlah sesuatu yang terjadi pada tahun 4004 SM; ia adalah proses yang bermula sepuluh milyar tahun yang lalu, dan masih berlangsung hingga detik ini.

Keseragaman Makhluk Hidup

Dalam kehidupan, keseragamaan sama menakjubkannya dengan keragaman. Kebanyakan wujud kehidupan adalah serupa dalam banyak sisi. Keseragaman biologis ini sangat terlihat apabila kita mengamati dari segi dimensi biokimia. Dari virus sampai manusia, semua data diwariskan hanya melalui dua zat kimia: DNA dan RNA. Data ini dibentuk dari kode-kode yang begitu sederhananya— hanya ada empat “karakter” dalam DNA: adenin, guanin, timin, dan sitosin. Formula-formula yang menghasilkan spesies baru tidak pernah menambahkan karakter atau elemen baru. Hanya kombinasi yang baru.

Bukan hanya kode genetiknya yang universal, metode translasi dari barisan karakternya pun demikian. Hanya ada dua puluh asam amino yang kemudian mengukir jenis protein yang tak terbatas— protein-protein ini yang kemudian bakal membentuk nyaris semua makhluk hidup. Protein-protein berbeda ini dikodifikasi oleh satu sampai enam triplet nukleotida dari DNA dan RNA. Keseragaman ini bukan hanya dari zat kimia sampai protein, sebab sampai metabolisme selular makhluk hidup pun ternyata sangat serupa, bahkan yang dimiliki organisme yang sangat berbeda pun. Adenosin trifosfat, biotin, riboflavin, hemes, piridoksin, vitamin K dan B12, dan asam folik, semuanya ada di proses metabolisme manapun.

Keseragaman ini mengindikasikan bahwa semua makhluk hidup berhubungan dan bersumber dari hanya satu nenek moyang. Sebab ternyata makhluk hidup sekompleks apapun, semuanya membawa fitur-fitur makhluk purbakala (memang bisa saja ada lebih dari satu spesies leluhur, tapi hanya satu yang tersisa dan menurunkan kita semua). Bayangkan lagi apabila evolusi ternyata salah. Ini berarti semua spesies didesain satu per satu, bukan? Di sini para anti-evolusi telah menghina sains dan Tuhan sekaligus. Menghina Tuhan sebab secara tidak langsung menuduh Tuhan mendesain sedemikian rupa sehingga menyesatkan penelitian para ilmuwan yang bekerja dengan jujur dan sungguh-sungguh.

Perkembangan biologi molekuler beberapa tahun terakhir telah memungkinkan kita untuk memahami bagaimana organisme-organisme yang beragam bisa terlahir dari satu materi: protein yang terdiri dari hanya 20 macam asam amino dan dikodifikasi oleh empat nukleotida. Bagaimana? Metodenya ternyata sangat sederhana. Ingatlah bahwa pada bahasa Inggris, semua kata-kata, kalimat-kalimat, bab-bab, dan semua buku disusun hanya dari 26 huruf! Bahkan mereka bisa ditulis dengan kode Morse, yang cuma terdiri dari tiga karakter. Makna dalam bahasa ditentukan dari barisan karakternya— hal yang sama ada pada kode genetik.

Lebih jauh lagi, kita sudah dapat memperkirakan seberapa tinggi keseragaman biokimia yang ada pada makhluk hidup. Beberapa enzim dan protein adalah hampir universal dan mereka memiliki fungsi yang serupa pada makhluk hidup yang berbeda, yaitu dengan bekerja sebagai katalis pada reaksi kimia yang sama. Nah, apabila mereka diisolasikan dan struktur mereka bisa dirumuskan secara kimia, maka kita akan menemukan barisan asam amino tertentu, yang berbeda-beda tiap organisme.

Contohnya, ‘rantai alfa’ pada hemoglobin manusia adalah 100% sama dengan simpanse, namun berbeda dengan gorila. Itu pun yang berbeda hanya 1 dari 141 barisan! ‘Rantai alfa’ manusia ini pun berbeda dari spesies lainnya seperti sapi (17/141), kuda (18/141), keledai (20/141), kelinci (25/141), dan ikan gurami (71/141).

Sitokrom C adalah enzim penting yang ada di metabolisme sel aerobik, dimiliki oleh makhluk hidup mulai dari manusia sampai kapang. E. Margoliash, W. M. Fitch, dan beberapa ilmuwan lainnya pernah membandingkan barisan-barisan sitokrom C tersebut— dan semakin mencerahkan dunia sains dengan penemuan-penemuannya. Sitokrom C milik beberapa jenis mamalia memiliki perbedaan sebesar 2 sampai 17 asam amino antar sesamanya. Perbedaan sesama jenis burung pun memiliki angka yang sama, yaitu 2-17. Antara kelas-kelas vertebrata, 7-38. Kemudian, vertebrata dan serangga, 23-41. Dunia binatang apabila dibandingkan dengan funghi (seperti khamir dan kapang), berbeda sebanyak 56 sampai 72 asam amino. Fitch dan Margoliash menyebutnya “jarak mutasi minimal”.

Sudah disebutkan di atas bahwa asam amino yang berbeda dikodifikasi oleh beberapa jenis triplet nukleotida pada DNA; kode ini sekarang sudah berhasil diketahui. Ternyata kebanyakan mutasi dihasilkan lewat penukaran sebuah nukleotid di rantai DNA yang digantikan oleh protein lain. Jadi sekarang kita sudah bisa mengukur; berapa jumlah mutasi minimal yang diperlukan untuk mengubah sitokrom C suatu organisme menjadi sitokrom C organisme lain!

Beberapa hasilnya adalah sebagai berikut:



Harap diingat bahwa barisan asam amino dari beberapa jenis protein adalah berbeda-beda bahkan di dalam satu spesies. Perbedaan-perbedaan antara protein-protein di tingkat spesies, marga, suku, ordo, kelas, dan filum, semuanya tersusun atas elemen-elemen yang juga berbeda-beda tiap individu. Namun perbedaan ini hanya sebatas perbedaan kuantitatif, dan bukan kualitatif, sehingga proposisi di atas tetap merupakan proposisi yang sangat kuat dan terus berkembang.

Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa dalam barisan asam amino hemoglobin manusia terdapat lebih dari 100 varian, namun variasi yang ada hanya melibatkan substitusi sekitar satu buah asam amino— substitusi yang muncul karena mutasi genetik nenek moyang masing-masing individu itu sendiri. Kebanyakan mutasi cenderung merugikan, tapi cukup banyak pula yang netral, bahkan menguntungkan di lingkungan tertentu. Hemoglobin-hemoglobin mutan yang telah ditemukan terkadang hanya terjadi pada satu orang atau satu keluarga saja; namun terkadang sangat umum di daerah yang berbeda di muka bumi.

Coba cari penjelasan yang masuk akal atas fenomena di atas tanpa menggunakan teori evolusi. Semuanya pasti menjadi absurd dan tidak masuk akal.

Perbandingan Anatomi dan Embriologi

Keseragaman biokimia yang universal adalah bukti penciptaan melalui evolusi yang paling meyakinkan dan mutakhir, tapi ia bukanlah satu-satunya bukti. Perbandingan anatomi dan embriologi sudah menjadi bukti yang sangat kuat sejak dulu, dimulai dari penelitian Pierre Belon pada tahun 1555 di mana ia menemukan homologi kerangka pada manusia dan burung. Padahal kerangka manusia dan burung sangat berbeda. Bahkan penelitian lebih lanjut menemukan homologi pada seluruh kerangka dan organ vertebrata! Tidak sampai di situ, homologi pun ditemukan pada kerangka luar milik antropoda yang sekilas sangat berbeda— dari lobster, lalat, sampai kupu-kupu. Contoh-contoh yang ada sudah tidak terhitung lagi.

Begitu pula embrio. Embrio yang dimiliki binatang-binatang yang sangat berbeda wujudnya, ternyata amat sangat serupa. Satu abad yang lalu keseragaman ini disuarakan oleh beberapa ahli biologi (seperti Ernst Haeckel) untuk menyimpulkan bahwa embrio mengulangi proses evolusi spesiesnya, dengan “berevolusi” di dalam rahim. Berarti, embrio di dalam rahim melalui proses di mana ia berwujud tidak seperti spesiesnya, namun mulai dari berwujud seperti nenek moyangnya. Dengan kata lain, mereka memberi gagasan bahwa kita bisa ‘membaca’ perjalanan evolusioner spesies kita dengan memperhatikan kronologi embrio. Ini dinamakan hukum biogenetik, namun pada saat ini sudah tidak diterima secara utuh lagi. Walau demikian, inti penelitiannya di mana mereka menemukan keseragaman embrio tetap tidak terbantahkan lagi.

Kita semua tahu, berangas dan crustacea sama sekali tidak mirip. Tapi ternyata larva dari berangas mesti melewati fase menakjubkan di mana mereka berwujud nauplius yang bebas berenang di air. Di fase ini, mereka serupa sekali dengan seekor cyclops yang sejenis crustacea, nyaris tidak ada perbedaan sama sekali. Ini bermakna, mereka adalah bersaudara.

Bukti lain yang sangat terkenal adalah bahwa ternyata embrio manusia memiliki celah insang. Tentu, embrio manusia itu bukan ikan, dan insangnya pun tidak lengkap dan tidak pula berfungsi. Tapi kenapa ini bisa terjadi? Apakah karena manusia bersaudara jauh dengan bangsa ikan, ataukah Tuhan punya selera humor yang aneh?

Radiasi Adaptif: Lalat Hawaii

Ada sekitar 2,000 spesies lalat drosophilid di dunia secara keseluruhan. Seperempatnya ada di Hawaii, padahal ukuran arkipelago ini hanya sebesar New Jersey. Semua spesies yang ada di Hawaii tersebut, kecuali sebagian kecil (17 dari sekitar 500), adalah endemik— di seluruh dunia, hanya ada di Hawaii. Yang lebih menarik adalah, hampir seluruh spesies khas Hawaii ini bukannya menyebar merata di seluruh kepulauan: mereka hanya ada di pulau-pulau tertentu saja. Beberapa bahkan hanya ada di satu bagian saja pada satu pulau! Mengapa suatu spesies bisa sebegitu terspesialisasinya? Penjelasannya ada pada penelitian yang telah dilakukan H. L. Carson, H. T. Spieth, D. E. Hardy, dan kawan-kawan.

Jadi, kepulauan Hawaii adalah kepulauan gunung berapi; pulau-pulaunya bukanlah bagian dari benua apapun. Usia pulau-pulaunya tersebut bervariasi dari 5.6 sampai 0.7 juta tahun. Sebelum manusia bermukim di sana, sudah terdapat spesies-spesies lain yang sampai ke sana melalui udara atau cara lainnya. Salah satunya adalah satu spesies lalat drosophilid ini— mereka sampai ke Hawaii, dan ‘ditantang’ oleh lingkungan di sana. Oleh sebab itulah, terlahir berbagai macam spesies keturunannya yang menghadapi tantangan yang berbeda-beda (sebelum ada salah paham di sini, tentunya spesies-spesies lalat ini sangat serupa satu sama lainnya dan orang biasa tidak akan bisa membedakannya). Dari yang spesies yang paling besar sampai yang paling kecil jumlahnya, semuanya berasal-usul sama, dan mereka, apabila diamati, memiliki cara hidup yang unik. Misalnya, menjadi parasit di kepompong telur yang dimiliki laba-laba.

Pulau-pulau di Oseania yang lain, selain Hawaii, tidak ada yang kaya dengan lalat endemik seperti ini. Penjelasan yang masuk akal adalah, pada pulau-pulau yang lain, kekosongan ekologis yang ada telah terisi semuanya oleh drosophilid lainnya, sehingga evolusi tidak terjadi. Inilah penjelasan yang memuaskan di mata ilmu pengetahuan

Dari pandangan anti-evolusi, yang akan muncul adalah sebuah hipotesis alternatif: Suatu hari, Tuhan, karena sedang iseng, menciptakan lagi dan lagi variasi lalat di Hawaii, sampai akhirnya jumlahnya mencapai seperempat variasi lalat drosophilid di seluruh dunia.

Mana yang lebih masuk akal, saya serahkan pada pembaca.

Tingkat Kekuatan dan Penerimaan terhadap Teori Evolusi

Apabila dilihat dari sudut pandang teori evolusi, maka biologi mungkin adalah cabang sains yang paling memuaskan dan inspiratif. Sebaliknya apabila evolusi tidak diakui, maka ia akan menjadi tumpukan fakta-fakta trivial yang unik, misterius, tapi membingungkan dan aneh apabila dilihat secara kolektif.

Ini bukan berarti kita telah mengetahui semua tentang biologi dan evolusi. Ahli biologi manapun tahu bahwa ada jutaan pertanyaan yang masih belum terjawab; biologi masih sangat muda. Perbedaan pendapat dalam ilmu biologi sendiri adalah umum adanya, suatu tanda yang sehat dalam sains. Kesalahan yang dibuat oleh kaum anti-evolusi adalah menganggap teori evolusi sebagai kumpulan doktrin yang diimani oleh seluruh ahli biologi. Yang menyedihkan adalah ketika perbedaan pendapat itu dikutip sedemikian rupa untuk menciptakan ilusi seolah-olah perbedaan yang ada adalah begitu mendasar dan masih banyak ilmuwan yang menolak teori evolusi. Saya dan teman-teman saya sendiri sering menemui perkataan-perkataan kami dikutip sehingga berbunyi seolah-olah kami adalah penentang teori evolusi.

Saya akan membuat semuanya jelas; apa yang sudah terbukti dan tidak dapat diragukan lagi, dan apa yang masih jadi tanda tanya.

Bahwa evolusi telah dan masih terus terjadi sebagai proses yang ada di alam, hanya akan diragukan oleh mereka yang belum (atau tidak mau) meneliti bukti-bukti yang dudah dituliskan. Mungkin karena alasan-alasan emosional atau cuma keras kepala.

Sebaliknya, yang masih perlu dipelajari adalah,

Mekanisme apa yang menyebabkan evolusi?

Itulah pertanyaan yang masih perlu dijawab, dan sedang terus diusahakan oleh para ilmuwan. Pertanyaannya sedang terus dipelajari, dan hipotesis-hipotesisnya terus diklarifikasi.

Kesimpulannya,

Tidak ada alternatif ilmiah untuk teori evolusi. Tapi, sains terus berusaha membongkar asal-usul mekanisme evolusi ini.

Luar biasa bagaimana lebih dari seratus tahun yang lalu Darwin dapat memformulasikan dasar-dasar teori evolusi dengan materi yang begitu terbatas. Perkembangan genetika di abad ke-20, terutama genetika molekuler, telah berhasil menyajikan informasi-informasi yang esensial untuk mulai menyingkap misteri-misteri mekanisme seleksi alam. Masih banyak yang mesti dipelajari— sesuatu yang begitu dramatis dan inspiratif untuk para ilmuwan-ilmuwan yang bersungguh-sungguh mengabdi untuk umat manusia. Bayangkan; begitu banyak yang kita telah ketahui, dan masih ada banyak misteri yang ada!

Apakah fakta evolusi bertentangan dengan agama? Tidak. Adalah kekeliruan untuk menggunakan kitab suci sebagai sumber utama berkenaan dengan sains. Sebab kitab suci menggunakan bahasa simbol yang puitis, dan tidak bijak menerjemahkannya untuk sains. Hasilnya malah menghina Sang Pencipta: Tuhan dituduh sebagai tukang tipu yang menjebak ilmu pengetahuan.

Salah satu pemikir besar era kita, Pierre Teilhard de Chardin, pernah berkata;

“Apakah evolusi sebuah teori, sistem, atau hipotesis? Saya kira ia lebih menyerupai suatu kenyataan yang paling tinggi dibanding teori, sistem, atau hipotesis manapun. Semua teori, sistem, dan hipotesis mesti diukur menggunakan evolusi ini. Ia merupakan cahaya yang menerangi segala kebenaran, sebuah lintasan yang mesti dilalui setiap garis yang ada.”

“Inilah evolusi!”

Tentu, tidak semua ilmuwan, filsuf, dan ahli teologi sepakat dengan ajaran Teilhard, namun tidak diragukan lagi bahwa ia adalah orang yang sangat religius. Pandangannya tentang iman dan sains tidaklah sempit seperti yang ada dalam diri kebanyakan orang— keduanya sangat harmonis dalam dada Teilhard.

Teilhard adalah seorang yang mengimani “Penciptaan”, tapi ia adalah satu dari mereka yang menyadari bahwa “Penciptaan” adalah evolusi itu sendiri.


Share |

Post a Comment

0 Comments:

blogger templates | Make Money Online